Maritime
Strategi Menjaga Kekayaan, Kelestarian dan Keamanan Laut Indonesia

Petroenergy.id, JAKARTA - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tiada henti melakukan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan di seluruh perairan hingga sungai di kawasan Indonesia. Tujuannya, meminimalisasi kasus-kasus pelanggaran. Ratusan penindakan sudah dilakukan. Ratusan miliar uang negara berhasil diselamatkan. Kini, di 2021, kegiatan pengawasan semakin dipertajam di bawah Menteri Sakti Wahyu Trenggono.
Dalam sebuah wawancara daring sebagaimana dikutip dari KKP Rebound, Direktur Operasi Armada Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP, Pung Nugroho Saksono, A.PI, MM, menjelaskan panjang lebar tentang tugas pengawasan. Berikut petikannya.
Bagaimana konsep atau program KKP dalam menjaga kekayaan maritim Indonesia?
Dengan lahirnya Undang-Undang Perikanan yang bersifat “lex specialist”, maka kami lebih spesifik lagi menjaga kekayaan khususnya sumber daya kelautan dan perikanan. Karena kekayaan maritim itu tidak hanya kelautan dan perikanan saja. Di situ banyak tugas yang harus kita jalankan.
Dalam hal ini kita mempunyai tugas dan kewenangan sesuai Undang-Undang Perikanan. Kami bisa melakukan pengejaran, penangkapan, penggeledahan, sampai penyidikan. Aturan hukum ini harus ditegakkan. Negara tidak punya wibawa hukum di masyarakat ataupun di dunia internasional apabila itu tidak dilaksanakan.
Sampai saat ini kita baru memiliki 30 kapal pengawas perikanan. Sementara luas laut dua pertiga wilayah perairan. Dengan armada kapal sebanyak itu tidak bisa kami menguasai semua wilayah atau menyapu para pelaku illegal fishing.
Jelas, masih ada kebutuhan setidaknya 70 kapal patrol agar layak kami melakukan pengawasan wilayah perairan. Namun demikian, kekurangan ini kami isi bersinergi dengan angkatan laut, polisi air hingga pun bea cukai.
Strategi lain yang kami gunakan adalah fokus pada wilayah tertentu dalam melakukan pengawasan. Wilayah yang kira-kira rawan adanya “illegal fishing” khususnya kapal-kapal asing.
Kita sering melakukan penangkapan di wilayah BPP 711 di Natuna, Sulawesi, Samudera Pasifik, dan Arafura.
Kami juga terlibat dalam melakukan pengawasan terhadap kapal tenggelam peninggalan zaman dinasti Ming. Karena di dalamnya banyak barang peninggalan berharga. Ada piring-piring zaman kuno, kepingan uang emas, patung-patung.
Selain illegal fishing, kami juga melakukan pengawasan terhadap ‘destructive’ fishing. Khususnya terhadap kegiatan yang mengancam kerusakan terumbu karang. Terumbu karang itu sangat vital, karena menjadi rumah bagi ikan.
Apa faktor penyebab nelayan asing memasuki perairan Indonesia?
Sebenarnya nelayan asing memilki laut juga. Tapi kenapa kapal mereka masuk ke wilayah kita untuk mencuri ikan? Ternyata pada saat kami tangkap, kebanyakan dari mereka mengaku menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Dari situ kami melihat bahwa ini yang menyebabkan mereka merusak terumbu karang, merusak rumah ikan di wilayahnya sendiri.
Terumbu karang di perairan Vietnam, mungkin Malaysia, mungkin juga Filipina, menjadi rusak karena ulah sendiri, menyebabkan mereka mencari ikan dengan cara mencuri di wilayah Indonesia yang terumbu karangnya tetap terpelihara.
Bukan hanya nelayan asing. Nalayan kami pun melakukan hal yang sama. Masih banyak nelayan kita yang masih menggunakan troll, atau cantrang kalau saja kata tidak melakukan operasi di laut.
Melihat kondisi di atas, langkah apa yang dilakukan KKP?
Kami melakukan pembinaan terhadap nelayan. Menyadarkan mereka bahwa cara-cara penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan itu salah. Kalau mereka tetap melakukannya, maka anak cucu mereka tidak akan menikmati lagi kekayaan laut negaranya. Dan saya yakin Indonesia bukan lagi negara pemroduksi ikan, justru akan menjadi negara pencuri ikan.
Untuk itulah kami dari Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Perikanan memaksimalkan 30 kapal yang ada untuk menjaga kekayaan maritim, khususnya kelautan dan perikanan. Dengan begitu, kesinambungan produk perikanan maupun hasil perikanan akan terus berlanjut hingga nanti.
Apakah trendnya meningkat atau menurun dalam tiga tahun ini terkait illegal fishing?
Tahun ini tren pencurian ikan meningkat. Mungkin karena adanya pandemi. Di masa pandemi ini yang masih tersedia barangnya adalah perikanan di laut. Tren ini kami maklumi. Untuk 2020, trennya menurun, hanya 100 kapal. Namun dalam tujuh bulan di 2021, kami sudah menangkap 119 kapal.
Kami lakukan penerapan hukum secara berimbang. Artinya, pelaku kejahatan dan mereka yang tertib aturan jangan sampai disamaratakan.
Bagaimana dengan sumber daya manusia Pengawasan yang dimiliki KKP?
Petugas yang kami miliki masih terbatas. Dari 1.249 orang, sebanyak 273 adalah penyidik, 139 pengawas, dan 361 kru yang ada di kapal. Kemudian Polisi Khusus kelautan dan perikanan sebanyak 136 orang, Bila dibandingkan dengan satuan lain seperti angkatan laut, Polri, jumlah kami sangat terbatas.
Untuk memperkuat garda terdepan di lapangan, kami berusaha mengembangkan unit pelaksana teknis (UPT). Saat ini baru ada 14 UPT. Pimpinannya setingkat eselon III, dan saya pernah menjadi Kepala UPT membawahi 10 provinsi. Bisa dibayangkan, Kapolda saja hanya satu provinsi.
Sementara untuk kapal pengawas sejumlah 30 kapal hanya menampung sekitar 351 personil. Rata-rata satu kapal hanya bias diisi 10-12 personil. Tahun depan akan ada penambahan dua unit kapal baru. Juga aka nada satu unit kapal berukuran besar hibah dari pemerintah Jepang. Pastinya, kami juga akan sempoyongan untuk SDMnya.
Sebetulnya kami sudah ajukan tiap-tiap tahun ada rekrutmen sekitar 100-300 CPNS. Tapi yang terealisasi antara 20 - 40 orang. Banyak di antara mereka yang tidak lulus kompetensi, karena kami memiliki standar kemampuan personil. Di laut kami bener-bener mengedepankan kecakapan maupun fisik dan mental mereka.
Seberapa luas wilayah perairan Indonesia yang harus diawasi?
Seluruh wilayah perairan di Indonesia kita awasi, baik yang ada di laut, danau maupun di sungai. Kenapa sungai? Sungai juga banyak yang mencari ikan dengan cara menyetrum. Cara itu membuat ikan, mulai dari induk hingga anak ikut mati.
Keramba apung di danau juga kami awasi agar tidak ada pengambilan ikan dengan cara meracuni.
Adakah program terobosan untuk menekan kegiatan illegal dan destructive fishing di 2021?
Pemantauan yang kami lakukan di 2021 menggunakan rakarsa. Kapal-kapal perikanan Indonesia di atas 30 gross ton kami pasang alat ‘vessel monitoring system’ (VMS-Sistem Pemantau Kapal Perikanan). Dengan demikian, kami bisa memantau 24 jam pergerakan kapal tersebut. Mana yang melanggar jalur penangkapan, mana yang tidak akan ketahuan.
Bahkan, kami bisa memantau pergerakan kapal saat di luar negeri, seperti saat kapal berada di perairan Hongkong. Kami pun bisa langsung memberikan sanksi tertulis kepada pemilik kapal yang melanggar.
Tahun 2021 ini kami menambah armada pemantau dari udara yang ‘airborne surveillance’. Ada beberapa pesawat yang kami sewa, mulai dari jenis ATR, King Air, hingga Jet.
Pola intercep di lapangan saat ini gaungnya lebih maksimal. Kami bisa menangkap langsung dan terintegrasi dari mulai penggunaan satelit, pesawat udara, dan kapal pengawas. Inilah terobosan-terobosan bagaimana kami memaksimalkan airborne surveillance.
Apakah ada target untuk kinerja Pengawasan di 2021?
Kami tidak memiliki target penangkapan kapal. Sebetulnya filosofinya semakin sedikit kapal yang kami tangkap, berarti kesadaran manusia akan aturan ada, kesadaran terhadap hukum ada, mungkin juga terkait dengan efek jera itu bisa berjalan.
Yang kami inginkan terutama kesadaran masyarakat, bahwa melakukan pelanggaran akan merugikan diri sendiri dan anak cucu. Penyadartahuan tentang ini yang kami agak kesulitan melakukannya.
Kami tidak tergantung dengan yang lain, tapi yang jelas kami berharap aparat yang lain bisa berpartisipasi. Karena mengamankan laut Indonesia yang luas tidak bisa kita bicara institusi satu. Semua harus saling bahu membahu mengisi kekosongan.
Sebagai contoh Natuna. Kenapa banyak pencurian ikan di sana? Apakah pengawasannya lemah? Kekurangan petugas? Bukan itu. Ibarat pekarangan atau kebuh. Kalau tidak dimanfaatkan, besar kemungkinan tetangga atau orang lain akan memetik buah di situ. Artinya apa? Perlu adanya relokasi nelayan.
Berdasarkan VMS, sebaran kapal-kapal ikan di Laut Jawa sangat rapat. Perlu dipertimbangkan ke kawasan lain. Namun, nelayan daerah Natuna pun resisten dengan kapal daerah lain. Menurut mereka “ini laut kami, ngapain orang Jawa ke sini ngambilin ikan kami. Untuk itu, penting menyadarkan nelayan bahwa laut adalah pemersatu bangsa. Tapi, agak sulit ketika ada aturan otonomi daerah.
Menteri Trenggono bertekad untuk me-rebound KKP. Ditjen PSDKP kira-kira memaknainya bagaimana?
Kami sangat ‘appreciate’ untuk itu. Karena pada tahun-tahun sebelumnya, terutama untuk Direktorat Jenderal kami, PSDKP, pasti dipandang sebelah mata sama pimpinan sebelumnya. Baru dua tahun terakhir, sejak pak Edhy (Edhy Prabowo, Menteri KKP) dan apalagi pak Trengono, Ditjen PSDKP benar-benar dilihat sebagai asset.
Bahkan beliau (Menteri Trenggono) sampai bilang PSDKP menjadi bentengnya KKP dalam hal pengawasan sumber daya kelautan. Beliau ucapkan sendiri di depan saya. Dari situ kami merasa rebound. Kami merasa: “oh saya dibutuhkan, loh”. Pak menteri merasa punya pasukan dan handal. PSDKP menjadi punya warna tersendiri, punya posisi tersendiri, dibilang sebagai benteng, itu luar biasa.
Pengakuan itu menjadikan kami lebih percaya diri dan terbukti dari Januari hingga saat ini direktorat kami berhasil menangkap 119 kapal ilegal. Belum lagi pelaku-pengeboman yang berhasil kami tangkap, jumlahnya bisa mencapai 150 orang.
Pak Menteri juga berkali-kali menyampaikan bahwa kami akan mendapat tambahan kapal. Bukan yang kapal kelas-kelas kecil. Beliau selalu bilang perlu kelas frigate. Bayangkan, kelas frigate saat ini hanya dimiliki TNI AL. Artinya, pak Menteri melihat bahwa kita harus perang melawan pelaku illegal fishing.
Pasalnya, potensi laut Indonesia sangat luar biasa. Kalau dikelola dengan sungguh-sungguh, dengan maksimal dan profesional, saya yakin laut kita akan menjadi salah satu penghasil devisa yang sangat luar biasa untuk negara. Bisa mengangkat kesejahteraan minimal rakyat di sektor perikanan dan kelautan. Dan kita tidak kalah dengan Jepang.
Hasil dari laut mungkin bisa membayar hutang-hutang negara kita. Dari pengalaman saya sebagai pengawas, tiap hari ribuan ton ikan kita dicuri. Bahkan bisa mencapai milyaran ton yang dibawa selama ini.
Bagaimana koordinasi lintas sektor, seperti dengan Bakamla, TNI Angkatan Laut, dan sektor terkait lainnya? Bagaimana untuk menghindari terjadinya “overlapping”?
Sebetulnya kalimat overlapping ini selalu dibesar-besarkan. Kondisi yang tadi disampaikan sebetulnya tidak seseram itu. Kami koordinasi, kami sinergi dengan semua aparat di laut. Kami tukar informasi, kami tukar data. Operasi bersama juga kami lakukan.
Memang, kadang ada yang mempolitisasi, “wah ini overlapping”. Kapal yang sudah diperiksa, diperiksa lagi dengan aparat yang lain. Yang jelas, selama di lapangan tidak ada saling gap atau saling menyalahkan di antara kami.
Intinya, bagaimana membuat kedaulatan laut kita terjaga kekayaannya, terjaga kelestariannya, terjaga keamanannya. Konsep ini yang perlu dipahami bersama bahwa tidak bisa laut itu dijaga 1 institusi. Pihak-pihak terkait punya kewenangan dan bisa masuk ke permasalahan yang belum diperiksa oleh institusi yang lain.
Dari 119 kapal yang berhasil ditangkap, berapa persen penangkapan itu dari potensi illegal fishing?
Mungkin yang kami tangkap itu sekitar 70 persen. Penangkapan juga dilakukan polisi Angkatan Laut, Bakamla juga. Lalu, mengapa 30 persennya belum? Memang tidak semuanya bisa tertangkap.
Bagaimana peran pemerintah daerah dalam posisi pengawasan di era otonomi daerah saat ini?
Harusnya Pemda sudah menyiapkan pasukan, menyiapkan SDM bagaimana mengawasi di daerah masing-masing. Di dalam Undang-Undang Otonomi Daerah sudah jelas hal itu diatur dalam pasal pengawasan. Tapi karena Pemda belum siap, kami membuat MoU dengan Pemda. Dalam MoU tersebut disebutkan bahwa ada kerja sama pengawasan.
Dalam hal pengelolaan, Pemda memliki wilayah perairan masing-masing. Artinya, wilayah Sulawesi Utara, ya laut Sulawesi Utara. Jangan Pemda menerbitkan izin dari Sulawesi Utara sampai ke Maluku Utara bahkan sampai Gorontalo.
Namun, kalau mau seperti itu, buat saja MoU antar gubernur. Turunannya nanti ada yang namanya surat keterangan nelayan. Disitulah nanti dibuat pasal-pasal bagaimana bagi hasil antar Pemda, agar tidak ada keluhan nelayan ke kami.
Setelah ada MoU itu, harus ada sosialisasi bahwa nanti ada nelayan dari luar akan menangkap ikan di wilayah sini. Dia sudah membayar pajak atau retribusi untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebetulnya kalau bicara lintas provinsi, itu sudah kewenangan pemerintah pusat. Tapi dengan adanya otonomi, maka bagaimana kita meramu supaya semuanya tetap berjalan lancar.
Kami juga berharap agar SDM yang sudah kami latih di daerah tetap ditugaskan ditempatnya, sampai kapanpun. Kalau diganti, kami harus melatih SDM lagi, Melatih pengawas itu tidak semudah membalikkan tangan. Begitu juga dukungan pengawasan dalam bentuk bantuan speedboat dari KKP dengan memakai Dana Alokasi Khusus (DAK). Begitu barang diterima, pemda mengajukan dana operasionalnya.
Intinya, sampai saat ini kami merangkul Pemda untuk membuat MoU. Kami bantu mengawasi. Kami akan menegakkan aturan sesuai dengan apa yang menjadi targetnya Pemda. Kami harus bisa meramu dan menjaga Pemda agar tetap bisa terjaga sumber daya kelautan dan perikanannya. Tidak ada ketersinggungan antara Pemda satu dengan yang lain.
Adakah contoh negara yang bisa meminimalisir illegal fishing?
Jepang disiplin. Mereka punya semacam aturan berapa hari atau berapa bulan tidak boleh melakukan penangkapan ikan di laut. Ini memberi peluang untuk ikan bermijah, melakukan perkembangbiakkan. Bahkan mereka ada quota atau pembatasan dalam penangkapan ikan. Berbeda dengan Negara kita. Kesannya, berlomba-lomba banyak-banyakkan.
Negara mana saja yang paling banyak melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia?
Sebetulnya bukan negara yang maling, tapi oknum nelayannya. Tapi ada satu negara justru nelayannya dikawal sama aparatnya – kadang angkatan lautnya - untuk masuk ke kawasan kita mencuri ikan. Ketika kami mau sergap, yang maju kapal pengawalnya. Konflik itu terjadi, namun tidak kami publish. Bahkan, ada yang sampai tenggelam kapalnya karena kami tabrak.
Dalam menjaga perairan Indonesia, kami sangat serius, tidak setengah-setengah walau persenjataan kami tidak terlalu lengkap. Kami hanya pakai senjata SOS. Tapi bagaimana anak buah saya ketika di lapangan seperti orang kerasukan ketika melihat kapal asing. Nafsunya luar biasa karena melihat maling negara. Kami harus mampu mengamankan sejengkal kedaulatan laut Indonesia.
Kita memang tidak cukup dengan hanya menjaga kekayaan maritim saja. Tapi kita harus mencintai laut kita. Kita harus mencintai NKRI. Dengan mencinta NKRI, maka jiwa raga ini iklhas kita pertaruhkan untuk negeri ini.
Bagaimana peran masyarakat dalam hal pengawasan dan pelestarian laut, terkait dengan kearifan lokal?
Petugas yang kami miliki terbatas jumlahnya. Keterbatasan itu kami sadari, maka kami membuat Kelompok Masyarakat Pengawas. Untuk Pemda tingkat 2, bias ada dua hingga 20 kelompok per pemda. Satu kelompok beranggotakan sekitar 20 orang.
Saat ini, dari data yang ada, kami memiliki kurang lebih 1.260-an Kelompok Masyarakat Pengawas. Anggota kelompok berasal dari nelayan, tokoh masyarakat, hingga tokoh agama. Melalui mereka kami mencoba menyuarakan hal-hal yang dilarang dalam melakukan penangkapan ikan.
Kami juga mendukung kearifan local. Salah satunya mendukung tradisi di NTB. Di sana, para habib di setiap Jumat ikut menjaga agar nelayan tidak melaut. Kalau melaut akan didenda. Atau di Lubuk Linggau ada tradisi dilarang memancing bila ikan belum besar.
Panen ikan akan dilakukan secara bersama. Atau di laut jangan menggunakan alat tangkap berupa bom. Begitu ada yang memakai, maka akan dihukum kerja bakti satu bulan atau hukuman lainnya.
Kearifan lokal seperti itu lebih menyentuh ketimbang penerapan hukum. Hukum sebaiknya berjalan di belakang. Karena hukum itu bukan segala-galanya untuk menyelesaikan kasus kelautan dan perikanan. [tius]