Oil & Gas
Revisi UU Migas Masuk Dalam Program Prolegnas, SKK Migas Berubah Status

Jakarta, petroenergy.id - Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) telah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) tahun ini. Salah satu fokus yang masih dalam perdebatan pada revisi undang-undang tersebut adalah mengenai status Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas).
Terdapat opsi-opsi yang berkembanga, misalnya, ada beberapa anggota Dewan sempat mengusulkan agar SKK Migas menjadi badan otoritas, seperti Otoritas Jasa Keuangan.
Anggota Komisi Energi dari Fraksi Hanura, Inas Nasrullah Zubir, mengatakan opsi tersebut sulit dipenuhi, sebab berpotensi ditolak Mahkamah Konstitusi. “Karena berbeda (fungsi) dengan otoritas keuangan,” kata Inas kepada dikutip Katadata, Senin (10/10).
Inas menambahkan, pembentukan Otoritas Jasa Keuangan disetujui Mahkamah Konstitusi dan bersifat independen. Di sisi lain, ruang lingkup SKK Migas tak sama dengan lembaga tersebut. Dengan demikian, menurut Inas, saat ini DPR hanya mengantongi satu opsi perubahan kelembagaan SKK Migas, yakni menjadi Badan Usaha Milik Negara Khusus.
Sementara, Satya Widya Yudha, anggota Komisi Energi dari Partai Golkar, mengatakan, kemungkinan SKK Migas menjadi BUMN Khusus, itu masih dalam pembahasan fraksi-fraksi . Satya menambahkan bahwa beri kesmpatan kepada Komisi Energi untuk menyelesaikan. Bila ini telah selesai, kata dia, baru nanti ketok palu di Badan Legislasi (Baleg) dan paripurna menjadi resmi sikap DPR.
Sekarang DPR sedang menggodok bab mengenai industri hilir minyak dan gas dalam RUU Migas. Misalnya, merumuskan cadangan minyak strategis atau Strategic Petroleum Reserve (SPR). Dalam Undang-Undang Migas yang lama, pokok-pokok soal hilir memang masih minim.
Seperti diketahui, SKK Migas awalnya bernama Badan Pengelola Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas). Mahkamah Konstitusi membubarkan BP Migas melalui amar putusan Nomor 36/PUU-X/2012 dan menitipkan pengelolan kegiatan usaha hulu migas kepada menteri. Melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013, pemerintah membentuk lembaga sementara bernama SKK Migas.
Revisi UU Migas masuk dalam Program Legislasi Nasional 2016. Sejak BP Migas dibubarkan pada 2012 dan dibentuk SKK Migas, belum terlihat titik terang upaya pemerintah dan DPR dalam menyelesaikan revisi aturan tersebut untuk membentuk lembaga pengelola energi yang permanen.
Komisi Energi masih merampungkan proses pengumpulan poin-poin usulan revisi RUU Migas, termasuk kelembagaan SKK Migas. Berdasarkan salinan daftar poin usulan DPR, mencuat banyak usulan. Fraksi Nasdem, misalnya, berharap SKK Migas digabung dengan PT Pertamina.
Hal ini berbeda dengan pemerintah yang menginginkan SKK Migas tetap berdiri sebagai BUMN Khusus. Tugasnya mewakili pemerintah sebagai mitra kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) migas. Sedangkan posisi Pertamina di sektor hulu akan diperkuat.
Sementara itu, Serikat Pekerja SKK Migas menolak institusinya di bawah kementerian atau Pertamina. Ketua Serikat Pekerja SKK Migas Dedi Suryadi mengatakan badan atau lembaga pengelola energi harus berada di bawah Presiden. Hal ini berkaca dari kasus pengembangan Blok Masela. Pengembangan blok tersebut diputuskan Presiden Joko Widodo langsung demi kepentingan bangsa yang lebih besar.
Dengan contoh tersebut, posisi badan atau lembaga pengelola energi tidak bisa di bawah menteri atau perusahaan. “Kami mengusulkan dibentuk lembaga permanen yang posisinya langsung di bawah Presiden Republik Indonesia,” kata Dedi beberapa waktu lalu. (mk)