Maritime
Menanti Kebangkitan Industri Perkapalan Di 2017

Jakarta, PetroEnergy.id - Kapal-kapal perintis dan kargo yang sedianya dibangun pemerintah dibatalkan, dan selanjutnya diserahkan kepada pihak swasta. Namun, kebijakan ini masih tersandung bea masuk.
“Untuk impor kapal utuh, bea masuknya nol. Tapi tidak demikian dengan kapal yang dibangun di dalam negeri. Komponen-komponennya dikenakan bea masuk,” ujar Johnson W. Soetjipto, ketua umum Asosiasi Pengusaha Pelayaran Nasional Indonesia (Indonesian National Shipowner’ Association – INSA), Senin (14/11/2016) di Jakarta.
“Tentu (bea masuk) ini harus diperbaiki,” tandasnya, seraya menambahkan bahwa pemerintah memang telah memberlakukan restittusi PPN sebesar 10% untuk industri perkapalan nasional di luar Batam. “Tingkat kemahalannya kini tinggal 7%,” ujarnya. Namun, restitusi itu tidak otomatis menggairahkan kinerja industri galangan kapal Indonesia.
Melemahnya harga minyak dan batubara, menurut Johnson, ikut mempengaruhi kinerja industri perkapalan nasional, khususnya dalam memproduksi tagboat dan tongkang. Tagboat dan tongkang digunakan untuk mengangkut batubara dan diproduksi oleh sebagian besar industri perkapalan swasta nasional.
Menurut Johnson usai jumpa pers tentang perhelatan pameran maritim “Marintec Indonesia 2016”, awal mula melemahnya usaha industri perkapalan saat UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara diundangkan. Dalam UU tersebut termuat aturan yang melarang ekspor row material. Perusahaan tambang diwajibkan membangun smelter.
Kini, sekitar 100 smelter dalam proses pembangunan, beberapa di antaranya telah beroperasi. “Tahun depan kapal-kapal kita akan mengisi produk-produk smelter,” ujar Johnson yang mengisyaratkan akan kembali bergairahnya industri perkapalan nasional.
Optimisme Johnson beralasan. Apalagi harga batubara saat ini melonjak secara mendadak hingga mencapai 100% menjadi sekitar US$100 per ton. “Dulu kita punya 1000 tambang beroperasi. Sekarang dibawa 100 tambang. Kondisi ini ikut mempengaruhi susutnya angkutan batubara melalui laut,” ujarnya.
Johnson belum berani memastikan kenaikan harga komoditi batubara akan meningkatkan kinerja industri perkapalan nasional. “Apakah kenaikan harga ini sifatnya spot atau sustainable, kami belum tahu. Harapan kami berkelanjutan.”
Meski didera melemahnya perekonomian nasional, hingga saat ini belum ada industri pelayaran nasional yang bangkrut. “Kami memakai tabungan yang ada. Selain itu, pengusaha lebih cerdas, mengoperasikan kapalnya lebih efisien,” ungkap Johnson menambahkan.
Data INSA menunjukkan 30 persen dari total 16.000 kapal nasional saat ini di “parkir”. “Tragisnya, sewa perairannya naik,” tandas Johnson, yang melihat tahun 2017 merupakan tahun kebangkitan indutri perkapalan nasional. “Harapan kami, perusahaan-perusahaan migas asing kembali melakukan kegiatan eksplorasi tahun depan, sehingga berdampak pada industri perkapalan nasional,” tutur Johnson. (san)