Investment
Hilmi Panigoro: Terobosan Energi Baru Terbarukan Perlu Leadershif

Sebuah diskusi Dialog Energi yang diprakarsai oleh Dewan Energi Nasional (DEN) digelar di Jakarta, pekan silam, mengusung tema “Rencana Umum Energi Nasional: Terobosan Pembangunan Energi Terbarukan” - menyorot: mengapa pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia, stagnan?
Untuk menjawab pertanyaan di atas DEN menghadirkan beberapa narasumber kompeten di antaranya, Hilmi Panigoro (Presiden Direktur Medco Energi Internasional), Laode M. Syarif (Wakil Kepala Komisi Pemberantasan Korupsi ), I. Gusti Putu Suryawirawan (Kementerian Perindustrian) dan Suahasil Nazara (Kepala BKF, Kementerian Keuangan).
Sumber daya EBT yang berlimpah adalah peluang. Namun, pengembangan sumberdaya EBT ini memerlukan pendanaan yang besar, teknologi mutakhir dan harga jual yang ekonomis. Pemerintah mentargetakan 23 persen energi baru terbarukan tahun 2025, ini dinilai tidak realistis. Karena, pengembangan EBT masih di Indonesia belum didukung kebijakan, harga keekonomian, teknologi dan sumber daya manusia yang memadai.
Rencana pemerintah untuk mengembangkan EBT, mendapat dukungan dari berbagai pihak. Karena, pengembangan EBT ini dianggap bisa menjadi alternatif kebutuhan energi saat ini dan bisa menjadi kebutuhan energi utama di masa yang akan datang. Namun, tuntutan akan tata kelola EBT yang baik banyak diserukan kepada pemerintah, ini tak segera direspon oleh Pemerintah.
Diakui atau tidak bahwa pengembangan EBT di Indonesia mengalami stagnasi atau kalau tidak mau dikatakan stagnan mungkin bisa dikatakan, hanya berjalan di tempat. Tantangan yang dihadapi dalam pembangunan EBT cukup berat, memang. Bahkan, sekarang disebut-sebut faktor keberadaan Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) ikut andil dalam menghambat pengembangan EBT di Indonesia. Pasalnya, pemerintah enggan membelanjakan uang anggaran untuk pembangunan infrstruktur EBT karena takut salah, lalu ditangkap oleh KPK.
Dialog Energi ini diharapkan mampu memberikan masukan-masukan kepada pemerintah dalam hal mencari solusi untuk mengatasi pengembangan EBT. Hilmi Panigoro, misalnya, mengatakan peluang Indonesia dalam mengembangkan EBT sangat besar, dengan melihat sumber daya alam yang berlimpah. Namun, peluang itu juga diikuti dengan tantangan terutama terkait regulasi. Oleh karena itu, dia menginginkan adanya terobosan-teroboan baru sebagai sebuah solusi komprehensif.
Untuk itu, Hilmi Panigoro menghimbau kepada pemrintahan Jokowi-Jk agar bergegaslah menciptakan solusi komprehensif terkait percepatan pengembangan EBT di Indonesia, salah sataunya adalah melalui leaderhsip. Krena, melalui sosok (leader) yang mampu melakukan leadershif, kata dia, diyakini juga mampu menyentuh semua unsur yang terkait dalam pelaksanaan pengembangan EBT, mulai dari unsur pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat.
Masih menurut Hilmi Panigoro, leadershif itu dimulai dari Presidsen Joko Widodo. Presiden Joko Widodo sebagai leader dapat mengajak para pemangku kepentingan untuk berkomitmen dalam satu visi yaitu melakukan percepatan pemanfatan pengembangan EBT . Melalui Presiden Jokowi pulalah semua orang yang terlibat dalam upaya pengemabngan EBT akan termotivasi.
“Leadershif dimual dari Presiden itu sendiri, dimana Bapak Joko Widodo sebagai leader diharapkan akan mamapu mendorong, menginovasi, mengajak semua pihak untuk berpikir cerdas hingga melahirkan sebuah komitmen bersama bahwa pengembangan dan pemanfaatan EBT untuk kebutuhan energi sekarang dan di masa yang akan datang, dan pengembangannya tak bisa ditunda-tunda lagi,” kata Hilmi Panigoro.
Hilmi Panigoro mencotohkan negara Brazil yang dikenal sebagai salah satu negara dunia yang telah berhasil mengembangan EBT. Menurutnya, salah satu kunci keberhasilan di negara Brazil dalam mengembangkan EBT-nya adalah melalui leadershif. “Dalam hal sumber daya energi baru terbarukan, Indonesia memiliki persamaan dengan dengan negara Brazil yakni sama-sama memliki potensi EBT yang berlimpah. Tapi, bedanya kalau di Brazil pemerintahnya telah membangun infrastruktur dan menyediakan teknologi untuk mendorong pengembangan EBT-nya . Di samping itu, pemerintah Brazil lebih pro aktif lagi membangun komunikasi melalui leadershif,” kata Hilmi Panigoro.
Menanggapi hal ini Abadi Poernomo (Anggota DEN dari unsur Pemangku Kepentingan), mengatakan, regulasi terutama yang menyangkut keturuanan Undang-undang (UU) Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi pengganti UU Nomor 27 Tahun 2003, masih harus diharmonisasi. Harmonisasi ini, kata Abadi Poernomo, masih dikoordinasikan dengan piahak Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE). “Ke depan, pengembangan di bidang EBT ini akan lebih baik karena pemerintah telah melakukan banyak terobosan di antarnya mengharmonisasi dan mengsinkronisasi regulasi turunan dari Undang-Undang No.21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi,” kata Abadi Poernomo.
Sementara, Suahasil Nazara (Kepala BKF, Kementerian Keuangan), menegaskan, pemerintah memberikan fasilitas kepada pengembang berupa Tax Allowance (amanat Peraturan Pemerintah No18/2015), Tax Allowance (amanat Peraturan Pemerintah No18/2015), dan PPh DTP Panas Bumi.
Tax Allowance, adalah pengurangan penghasilan netto 30 persen, ini berlaku selama 6 tahun, penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, pengenaan PPh sebesar 10 persen atau tariff yang lebih rendah menurut P3B yang berlaku dan kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lia) tahun tetapai tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun.
Tax Holiday, ini adalah merupakan fasilitas perpajakan yang diberikan kepada pengusaha yang bergerak di industri migas dan EBT berupa pembebasan pajak 5 sampai dengan 10 tahun sejak produksi komersial dan pengurangan pajak sebesar 50 persen dari PPh terhitung selama 2 tahun.
Dan, PPh DTP Panas Bumi, Ini adalah usaha pemrintah dalam rangka menjaga iklim investasi yang kondusif bagi investor di bidang pengusaha panas bumi, pemerimtah telah mengalokasikan subsidi PPh DTP dalam APBN 2015 sebesar Rp.2,19 triliun.
Dibagian lain juga dijelaskan bahwa KPK ikut mendukung percepatan pengembangan EBT tanpa harus takut melakukan pengembangan proyek-proyek infrastruktur di bidang migas termasuk juga di bidang pengembangan panas bumi. Laode M. Syarif menyatakan, pihaknya siap berkoordinasi terkait pembangunan di bidang energy ini. “Kami dari KPK siap melakukan koordinasi sepanjang dibutuhkan oleh pemerintah demi untuk perceptan pembangunan di bidang energi ini,” kata Laode.
Indonesia dipandang sebagai titik terendah negara tujuan investasi. Karena, banyak investor yang menganggap pemerintah seringkali tidak menghargai kontrak yang telah dibuat. Salah satunya adalah pungutan pajak yang secara tiba-tiba. Jika terus begini, pemrintah tidak konsisten dalam kebijakan, maka investasi susah ditingkatkan. (Mulkani)